Banyak yang mengatakan, generasi millennials itu “generasi kutu loncat” karena begitu mudahnya mereka meninggalkan pekerjaannya walau baru setahun bekerja dan kemudian pergi mencari pekerjaan di tempat yang baru. Tentunya hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan di mana generasi inilah yang sekarang memenuhi tenaga kerja yang ada. Alih-alih menitikberatkan pada label tersebut, perusahaan sebaiknya mengambil satu langkah maju dengan melihat perspektif lain yaitu: apa yang generasi millennials inginkan dan tawaran apa yang dapat mereka berikan dari diri mereka untuk perusahaan.
Alasan mengapa generasi millennials “mudah berpindah” sebenarnya ialah karena mereka memang sangat pemilih untuk mencari tempat yang sesuai dengan mereka. Bukan tergantung pada seberapa besar gedungnya atau banyak digit fee-nya, tetapi mereka mencari tempat di mana mereka dapat mengikat diri dengan passion yang didukung. Sehingga menjadi logis bila cara pandang millennials yang tidak “setia” ialah karena mereka berpikir,
“It’s not me that’s wrong, but this place is”.
Padahal generasi millennials memiliki karakteristik yang “unik” namun “kuat” dalam bekerja dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, setuju atau setuju?
Tetapi memang bagi generasi millennials, memilih tempat kerja yang sesuai dengan keinginan mereka itu sama saja seperti memilih pasangan hidup. Karena mereka sadar potensi dalam diri mereka sehingga mereka harus pintar-pintar memilah mana kandidat terbaik untuk mereka dapat menambatkan hati, duh roman sekali memang cara pikir millennials ini!
Nah, kandidat seperti apa sih yang jadi “tambatan hati” millennials dalam bekerja?
1. Unlimited Limit
Perusahaan mengembangkan dan menerapkan sistem dan alat pengelolaan kinerja. Misalnya saja Performance Indicator dan Target. Pada umumnya karyawan menerima Target sebagai sasaran kerja mereka. Banyak senior manajer perusahaan yang mengatakan Milenial kurang suka dipatok target. Bila ditarget mereka seakan tak menunjukkan komitmen pada target. Makin ditekan target, makin terlihat enggan memenuhinya. Benarkah demikian? Bila kita memahami millenial maka kita tak akan mengatakan millenial anti target. Poinnya adalah bagaimana target itu ditetapkan. Libatkan millennials tentang apa saja yang harus mereka capai dalam bekerja, kemudian tantang mereka untuk melewati batasan pencapaian tersebut. Millennials adalah generasi yang sering dilabel “optimis tidak realistis”, dan hal tersebut memang betul. Mereka percaya bahwa diri mereka lebih berpeluang besar menjadi “penemu dunia baru” seperti Alexander Graham Bell atau Mark Zuckerberg. Bila diri mereka dilibatkan, Millenial seakan mendapat logistik “bahan bakar” untuk semangat mereka mewujudkan apa yang dianggap “tidak realistis” oleh generasi sebelumnya.
2. Continous Improved Procedure
Millennials hidup dengan teknologi yang membuat mereka terbiasa melakukan apapun serba cepat. Hal ini yang membuat millennials terkesan sebagai generasi yang maunya serba instan tanpa memperhatikan prosedur yang sudah ada. Padahal, setiap perusahaan tentu memiliki prosedur dalam bekerja yang membuat perusahaan tetap keep-in-track mencapai sasaran kerja mereja. Untuk menyiasatinya, maka jadilah perusahaan yang memberi keleluasaan bagi millennials untuk dapat MENGEMBANGKAN prosedur yang cocok bagi mereka berdasarkan pada prosedur yang sudah ada di perusahaan. Jangan biarkan millennials menjadi rebel karena merasa "diikat" dengan prosedur yang ada, tetapi "ikatlah" millenials dengan "merangkul" mereka dalam mengembangkan prosedur agar nantinya dapat meningkatkan produktivitas mereka.
3. Home Sweet Home
Kantor merupakan “rumah kedua” bagi karyawan. Mengapa? Karena banyaknya waktu yang seseorang habiskan di kantor layaknya rumah yang ditinggali. Bila kita mendesain rumah, pasti kita akan memilih interior yang “gue banget”. Jika kita orang yang simpel, pasti kita akan lebih menyukai lingkungan rumah minimalis di mana tidak banyak barang yang memenuhi ruangan. Begitu pula dengan lingkungan kantor bagi millennials, desainlah lingkungan kerja yang sedang trend di masa kini seperti dengan menempelkan kutipan-kutipan menarik di dinding atau dengan menyediakan “living space” supaya kantor tidak lagi seperti penjara kubus. Namun menjadi Instagramable, Insta-like. Selain dari tempat, lingkungan kerja kekinian juga mencakup pada cara kerja berbasis online yang dapat memudahkan millennials bekerja di mana pun.
4. Breathe in Passion
Pernahkah Anda mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala karena merasa heran melihat anak muda yang sangat suka bergaya di depan kamera? Well, faktanya sekarang ini banyak sekali keuntungan yang diberikan dari balik sebuah lensa. Promosi yang dulu hanya bisa di lakukan melalui media massa besar seperti media elektronik atau media cetak, sekarang dengan mudah dilakukan oleh siapa saja melalui media sosial hanya dengan beberapa klik. Maka berhentilah melihat hobi millennials secara sebelah mata. Fokuslah pada keuntungannya. Perusahaan tak perlu lagi punya tim promosi dan public relation yang besar. Terbukalah akan hobi unik yang dimiliki millennials, yang tentunya baru dan berbeda dari hobi yang dimiliki generasi-generasi sebelumnya. Lihatlah lebih jauh dan berikanlah fasilitas untuk mendukung hobi mereka di tempat kerja seperti mengelola social media, membuat vlog, ataupun blogging.
5. Atmosphere of Appreciation
Millennials merupakan orang-orang yang berada pada rentang usia dewasa muda, masa yang penuh enerjik dalam bekerja. Millennials juga merupakan generasi pekerja keras. Millennials rela untuk begadang atau tidak menggunakan waktu libur demi kepentingan pekerjaannya. Tetapi, yang sering kali membuat millennials menjadi “pemalas” dalam menyalurkan kemampuan maksimalnya ialah karena sedikitnya apresiasi yang mereka terima. Padahal, apresiasi adalah salah satu faktor utama yang dapat menumbuhkan motivasi millennials untuk bekerja dengan kemampuan maksimal. Oleh karenanya sangatlah penting untuk mengaktifkan sifat percaya diri dan optimis millennials melalui iklim apresiasi dalam pekerjaan.
Bila perusahaan sudah memiliki semua atau sebagian karakteristik diatas, pekerja millennials akan lebih merasa bahwa nilai-nilai perusahaan tempatnya bekerja selaras dengan sifat yang ia miliki. Pada akhirnya, millennials bersedia untuk “menambatkan hati”nya dan menunjukkan potensi paling optimal yang ia miliki dalam bekerja.
Comentarios